Samakah Berdoa dengan Mengemis?
Samakah berdoa dengan mengemis? Itu pertanyaan Mas Yogo dalam kotak pesan blog ini.
Ah masa sih sampai begitu parahnya pandangan tentang doa? Kalau orang di gambar samping kanan ini lha bisa jadi memang sedang mengemis. Ha ha. Tapi, berdoa kepada Allah mana mungkin disamakan dengan mengemis.
Bisa jadi yang dipahami oleh pencetus ungkapan itu adalah:
ketika berdoa sebenarnya kita ini betul-betul memohon belas kasihan. Kita mengakui kerendahan diri kita. Sebenarnya kita tidak layak untuk mendapatkan anugerah, tetapi mengetuk belas kasihan Allah, yang empunya segala.
Tentu, tujuan ungkapan ini baik, yaitu menegaskan posisi kita (yang hina dina) berhadapan dengan Allah yang agung mulia. Tetapi berhati-hatilah dengan ungkapan ini ...
Pertama, Yesus tidak pernah menggunakan perumpamaan orang kaya dan pengemis untuk menjelaskan hubungan manusia dengan Allah. Sebaliknya Dia dengan sangat jelas memposisikan Allah sebagai Bapa. Dia dan kita para pengikutnya adalah anak-anakNya. Ingatlah perumpamaan tentang anak yang hilang dan kalimat dalam doa yang Dia ajarkan "Bapa kami ... ".
Istilah mengemis, walaupun dalam maksud "memohon dengan segala kerendahan hati" berkonotasi tidak akrab sebagaimana hubungan bapa dengan anak. Ini pengingkaran terhadap kasih Allah yang jelas-jelas sudah mau merangkul kita (sedina hina apapun) sebagai anak-anakNya terkasih. Dengan istilah mengemis, kita menempatkan diri kita sendiri sebagai bukan siapa-siapa yang kebetulan sedang bertemu Allah di perempatan hidup.
Kedua, istilah mengemis membuat Allah dalam posisi yang tersudut. Pengemis sejati (bukan yang profesional) menadahkan tangan karena memang tidak bisa berbuat lain kecuali menggantungkan hidup dari belas kasih orang lain. Sebelum tercemar oleh para pengemis bohongan, mengemis berarti "saya butuh sekali maka mohon kepada kamu orang yang punya". Lihatlah, dalam istilah mengemis terkandung dua pelaku "saya yang butuh sekali ..." dan orang lewat yang diduga "punya sesuatu ..." Kalau orang yang punya sesuatu itu tidak mau memberi, orang itu tidak punya hati, tidak berperikemanusiaan, karena saya sungguh-sungguh butuh sekali dan tidak mampu.
Apakah dengan doa, kita layak bersikeras mengutamakan "kebutuhan, ketidakmampuan, keinginan" kita, dan mendesak Allah yang "punya segalanya" untuk berperikemanusiaan? Kalau dalam keagungan rencanaNya Dia tidak menghendaki "mengabulkan" permohonan itu, akankah Dia harus masuk dalam kotak "dasar Allah yang tidak berbelas kasih"? Mengemis kepada Allah membuatnNya sungguh repot: harus mengabulkan atau mendapat cap sebagai "yang kejam".
Ketiga, mengemis berarti memohon. Lagi-lagi kita mempersempit arti doa. Mestinya khan berhadapan dengan Allah Bapa tidak hanya untuk minta sesuatu. Dalam kehidupan normal, itu menunjukkan relasi yang aneh. Bapa, yang manusia biasa, tidak akan gembira kalau setiap kali anaknya hanya tahu datang untuk meminta. Bisa jadi, permintaan-permintaan itu malah tidak akan dikabulkan.
Doa sebagaimana relasi yang normal antar manusia, mestinya ya komplit. Ada ceritera tentang situasi hidup. Ada diskusi: sedang ketemu problem hidup ini, bagusnya bagaimana ya? Ada pujian: wah Allahku memang baik, segala yang kupunya adalah anugerahMu. Ada syukur: terimakasih ya Bapa, saya mendapat kebahagiaan ini itu ... dst. Lain kali akan saya tuliskan aneka bentuk dan cara doa yang saya pahami ...
Sekian. Teman, jangan bangga jadi pengemis ya. Banggalah jadi anak-anak terkasih! Salam
Ah masa sih sampai begitu parahnya pandangan tentang doa? Kalau orang di gambar samping kanan ini lha bisa jadi memang sedang mengemis. Ha ha. Tapi, berdoa kepada Allah mana mungkin disamakan dengan mengemis.
Bisa jadi yang dipahami oleh pencetus ungkapan itu adalah:
ketika berdoa sebenarnya kita ini betul-betul memohon belas kasihan. Kita mengakui kerendahan diri kita. Sebenarnya kita tidak layak untuk mendapatkan anugerah, tetapi mengetuk belas kasihan Allah, yang empunya segala.
Tentu, tujuan ungkapan ini baik, yaitu menegaskan posisi kita (yang hina dina) berhadapan dengan Allah yang agung mulia. Tetapi berhati-hatilah dengan ungkapan ini ...
Pertama, Yesus tidak pernah menggunakan perumpamaan orang kaya dan pengemis untuk menjelaskan hubungan manusia dengan Allah. Sebaliknya Dia dengan sangat jelas memposisikan Allah sebagai Bapa. Dia dan kita para pengikutnya adalah anak-anakNya. Ingatlah perumpamaan tentang anak yang hilang dan kalimat dalam doa yang Dia ajarkan "Bapa kami ... ".
Istilah mengemis, walaupun dalam maksud "memohon dengan segala kerendahan hati" berkonotasi tidak akrab sebagaimana hubungan bapa dengan anak. Ini pengingkaran terhadap kasih Allah yang jelas-jelas sudah mau merangkul kita (sedina hina apapun) sebagai anak-anakNya terkasih. Dengan istilah mengemis, kita menempatkan diri kita sendiri sebagai bukan siapa-siapa yang kebetulan sedang bertemu Allah di perempatan hidup.
Kedua, istilah mengemis membuat Allah dalam posisi yang tersudut. Pengemis sejati (bukan yang profesional) menadahkan tangan karena memang tidak bisa berbuat lain kecuali menggantungkan hidup dari belas kasih orang lain. Sebelum tercemar oleh para pengemis bohongan, mengemis berarti "saya butuh sekali maka mohon kepada kamu orang yang punya". Lihatlah, dalam istilah mengemis terkandung dua pelaku "saya yang butuh sekali ..." dan orang lewat yang diduga "punya sesuatu ..." Kalau orang yang punya sesuatu itu tidak mau memberi, orang itu tidak punya hati, tidak berperikemanusiaan, karena saya sungguh-sungguh butuh sekali dan tidak mampu.
Apakah dengan doa, kita layak bersikeras mengutamakan "kebutuhan, ketidakmampuan, keinginan" kita, dan mendesak Allah yang "punya segalanya" untuk berperikemanusiaan? Kalau dalam keagungan rencanaNya Dia tidak menghendaki "mengabulkan" permohonan itu, akankah Dia harus masuk dalam kotak "dasar Allah yang tidak berbelas kasih"? Mengemis kepada Allah membuatnNya sungguh repot: harus mengabulkan atau mendapat cap sebagai "yang kejam".
Ketiga, mengemis berarti memohon. Lagi-lagi kita mempersempit arti doa. Mestinya khan berhadapan dengan Allah Bapa tidak hanya untuk minta sesuatu. Dalam kehidupan normal, itu menunjukkan relasi yang aneh. Bapa, yang manusia biasa, tidak akan gembira kalau setiap kali anaknya hanya tahu datang untuk meminta. Bisa jadi, permintaan-permintaan itu malah tidak akan dikabulkan.
Doa sebagaimana relasi yang normal antar manusia, mestinya ya komplit. Ada ceritera tentang situasi hidup. Ada diskusi: sedang ketemu problem hidup ini, bagusnya bagaimana ya? Ada pujian: wah Allahku memang baik, segala yang kupunya adalah anugerahMu. Ada syukur: terimakasih ya Bapa, saya mendapat kebahagiaan ini itu ... dst. Lain kali akan saya tuliskan aneka bentuk dan cara doa yang saya pahami ...
Sekian. Teman, jangan bangga jadi pengemis ya. Banggalah jadi anak-anak terkasih! Salam