Seluk Beluk Doa Pribadi
Doa adalah bagian dari iman. Siapapun yang beriman pasti berdoa. Artinya, melakukan komunikasi unik dengan Sang Maha Kuasa yang diimaninya [dengan nama apapun mau disebut].
Saya sebut komunikasi unik karena doa di satu pihak menggunakan tata cara dan bahasa manusia, tetapi di lain pihak jelas-jelas tertuju pada pribadi yang mengatasi kehidupan dan pengertian manusia. Manusia nyata menyapa pribadi yang dikenal-dipahami tetapi sekaligus misteri.
Tata cara dan bahasa manusia yang digunakan dalam doa biasanya diajarkan dan diatur oleh agama atau kepercayaan yang dianut. Ini berlaku baik untuk peribadatan atau ritus resmi umat beriman sebagai jemaat, maupun untuk doa-doa yang dilakukan masing-masing pribadi umat beriman.
Tata cara ini biasanya bersifat sakral. Tidak jarang, aturan peribadatan itu dilegitimasi dengan label sesuai kehendak Allah sendiri atau sebagaimana disabdakan dalam kitab suci. Karenanya harus ditaati. Tidak boleh diubah sembarangan.
Pada mulanya doa pribadi masih merupakan bagian dari doa jemaat. Ketaatan pada tata aturan diutamakan untuk menjamin doa pribadi itu sesuai dengan ajaran iman yang dianutnya. Umat biasa dianggap tidak mampu memahami dengan jaminan benar ajaran iman [terutama dalam menafsirkan kitab suci]. Karenanya yang paling aman adalah mentaati yang diajarkan para pemimpin agama resmi. Dalam situasi ini, doa pribadi yang benar-benar personal tidak berkembang bebas. Pasti banyak orang sudah mendoakan intensi pribadi mereka tetapi dalam bayang-bayang ketakutan masuk dalam kesesatan.
Di lingkungan jemaat kristiani, perkembangan doa pribadi kiranya dipacu oleh munculnya protestantisme. Dengan spirit pembebasan diri dari dominasi magisterium mereka merintis jalan kepada penafsiran kitab suci yang lebih personal. Dengan demikian mereka membebaskan diri juga dari ketatnya aneka aturan ritual Gereja yang selama ini ada.