Yang Paling Enak
Kehadiran ikan-ikan sepat yang kupelihara dengan toples bening di pojok meja kerjaku sering menjadi hiburan segar. Aku jadi mulai percaya, memperhatikan ikan di akuarium dapat membantu menghilangkan stress. Setelah sesaat mengikuti gerak gerik mereka, tanpa sadar aku sudah dibawa ke dalam ketenangan yang nyaman.
Walaupun demikian kadang-kadang mereka juga membuatku bertanya-tanya. Kalau aku mengapungkan potongan-potongan dage mereka segera dengan riang merubung ampas tahu itu. Tapi ketika aku menyalakan lampu mejaku, mereka serempak menghadap ke arah lampu itu. Mereka seperti sedang menengok dunia luar. Apa yang mereka bayangkan? Apakah mereka juga ingin hidup di luar dengan buku-buku dan kursi? Tentu saja pertanyaan-pertanyaanku itu konyol karena aku mengandaikan mereka punya otak sepertiku. Mungkin saja, mereka menengok keluar toples karena insting saja.
Masih dengan agak konyol pada suatu ketika mereka kuberi potongan roti Perancis. Biasanya potongan roti-roti lokal seperti roti mari atau roti tawar mereka santap habis, sekali-sekali biarlah mereka ikut merasakan luasnya dunia, minimal melalui makanan. Untukku sendiri roti itu terasa sangat enak, lebih dari roti-roti lokal manapun. Kuharapkan mereka sependapat denganku. Sayang sekali, mereka hanya mencicipi dan kemudian pergi meninggalkannya. Kubiarkan saja kelakukan mereka, karena kupikir mereka juga butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Pada waktunya nanti, terutama bila sudah lapar dan tidak ada makanan lain, mereka akan berubah pikiran atau setidak-tidaknya terpaksa berubah pikiran. Sehari berlalu dan tidak terjadi apa-apa. Mereka tidak berubah pikiran.
Diam-diam aku berkesimpulan, ternyata yang paling enak adalah yang biasa, yang dikenal, yang ditemui setiap hari.
Yang lain baca KISAH INSPIRATIF
Walaupun demikian kadang-kadang mereka juga membuatku bertanya-tanya. Kalau aku mengapungkan potongan-potongan dage mereka segera dengan riang merubung ampas tahu itu. Tapi ketika aku menyalakan lampu mejaku, mereka serempak menghadap ke arah lampu itu. Mereka seperti sedang menengok dunia luar. Apa yang mereka bayangkan? Apakah mereka juga ingin hidup di luar dengan buku-buku dan kursi? Tentu saja pertanyaan-pertanyaanku itu konyol karena aku mengandaikan mereka punya otak sepertiku. Mungkin saja, mereka menengok keluar toples karena insting saja.
Masih dengan agak konyol pada suatu ketika mereka kuberi potongan roti Perancis. Biasanya potongan roti-roti lokal seperti roti mari atau roti tawar mereka santap habis, sekali-sekali biarlah mereka ikut merasakan luasnya dunia, minimal melalui makanan. Untukku sendiri roti itu terasa sangat enak, lebih dari roti-roti lokal manapun. Kuharapkan mereka sependapat denganku. Sayang sekali, mereka hanya mencicipi dan kemudian pergi meninggalkannya. Kubiarkan saja kelakukan mereka, karena kupikir mereka juga butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Pada waktunya nanti, terutama bila sudah lapar dan tidak ada makanan lain, mereka akan berubah pikiran atau setidak-tidaknya terpaksa berubah pikiran. Sehari berlalu dan tidak terjadi apa-apa. Mereka tidak berubah pikiran.
Diam-diam aku berkesimpulan, ternyata yang paling enak adalah yang biasa, yang dikenal, yang ditemui setiap hari.
Yang lain baca KISAH INSPIRATIF